Sumber : Goal.com
Sejenak, saya mengingat bagaimana saya begitu pesimistis dengan kemampuan timnas Indonesia ketika akan bertanding di Filipina pada babak penyisihan grup. Bagaimana tidak, dengan materi pemain seadanya (setiap tim hanya diperbolehkan mengirimkan maksimal 2 pemain), timnas berangkat ke Thailand dengan predikat sebagai negara yang baru saja selesai menjalani sanksi pembekuan dari FIFA akibat carut-marutnya kepengurusan PSSI pada masa itu. Saat itu, saya berpikir bahwa paling maksimal, timnas kita akan finish sebagai peringkat ketiga babak penyisihan grup dimana timnas berada satu grup dengan Singapura, Filipina dan lawannya saat ini, Thailand. Saya benar-benar tidak membayangkan Indonesia akan melaju sampai babak final. Sampai Jumat, 25 Nopember 2016, dimana Indonesia menghadapi Singapura, tidak banyak yang percaya timnas akan mampu melaju sejauh ini. Sebagian sisanya pesimis seperti halnya saya. Saat harapan mulai muncul, kita perlahan mulai yakin dengan kemampuan timnas, kami yakin bahwa timnas memiliki harapan.
Tetapi saya sedikit kecewa dengan sikap beberapa orang yang kembali pesimistis saat mengetahui timnas kita ketinggalan 2-0. Beberapa teman melalui media sosial LINE menyarankan untuk segera mematikan TV karena percaya bahwa kita akan kalah. Bukankah beberapa hari yang lalu kita telah mengejek dan meremehkan kemampuan mereka? Saat mereka mencoba untuk membuktikan bahwa kita salah dan mereka berhasil -setidaknya mereka sampai ke babak final- kita tetap tidak mau mengapresiasi. Saya tidak tahu bagaimana rasanya berjuang mati-matian di atas lapangan hijau untuk memuaskan hasrat rakyat Indonesia yang sangat haus kemenangan (atau mungkin kehormatan). Tapi saya tahu betapa sakitnya diremehkan saat saya sedang berjuang. Saya membenci senyum kecut mereka yang seolah menyatakan "kamu tidak akan berhasil", saya membenci tawa mereka saat saya bercerita soal mimpi-mimpi saya. Sangat menyesal hati saya pernah meremehkan pemain timnas kita.
Sumber : FourFourTwo


No comments:
Post a Comment