Thursday, 9 February 2017

Batas

Kubuka berkas demi berkas foto masa sekolah menengahku dahulu. Kupandangi tiap-tiap senyum dari masing-masing orang didalamnya, bahkan termasuk senyumku sendiri. Kadang aku berpikir, masa itu sangatlah indah. Aku bisa tertawa sangat kencang dahulu.

Tapi, tunggu. Yang kulihat adalah fotoku ketika bersekolah. Bagaimana kehidupanku selain di sekolah? Well, this is kind of a diary. So, aku akan bercerita betapa kacaunya situasi dirumah ketika aku masih menjalani masa itu. Masaku bersekolah adalah masaku yang sangat terbatas.

Aku dahulu sangat ingin mendapatkan kebebasan untuk menjalani kehidupan malam. Ketika aku menghabiskan setengah hariku di sekolah, aku merasa aku layak untuk menikmati setengah malamku diluar rumah. Tapi sayang, orangtuaku selalu melarang sedangkan aku hampir selalu berontak karenanya. Bukan cuma sekali, benda-benda di sekitarku melayang karena ulahku mencoba menerobos larangan mereka. Dan tentu, aku tidak juga menyerah meski banyak sekali batasan yang mereka berikan.

Lalu kini, ketika aku berusia lebih dari 22 tahun dan masih mengenyam pendidikan tinggi. Aku mulai berpikir betapa idiotnya aku meminta hal-hal konyol semacam itu. Keluar malam? Ternyata kehidupan malam tidak seindah bayanganku dahulu. Nongkrong di pinggir jalan sambil menghisap beberapa batang rokok juga tidak seindah yang dahulu pernah terbayangkan olehku. Kemudian aku mulai teringat dengan sebuah gambar yang kudapatkan dari internet. Gambar tersebut menjelaskan bahwa seorang anak kecil sampai remaja memiliki waktu yang tidak terbatas, energi yang tidak terbatas tetapi tidak punya uang. Seorang dewasa memiliki uang, memiliki energi tetapi tidak ada waktu karena harus bekerja. Lalu seorang yang telah lanjut usia, memiliki uang, memiliki waktu tetapi tidak memiliki energi.

Kita semua selalu terbatas. Bahkan jika aku menemukan seorang yang sukses di usia muda dan tidak perlu lagi bekerja, aku yakin dia masih akan hidup dengan keterbatasan. Dimulai dari artis, mereka bisa hidup mewah di usia muda, mereka bisa menghabiskan banyak waktu untuk bersenang-senang ke luar negeri. Tetapi sampai sekarang belum pernah aku menjumpai artis yang tidak diburu penggemarnya.

Kalau aku? Menurut usia, seharusnya sekarang aku memiliki banyak waktu, memiliki banyak energi, tetapi tidak punya uang (aku mengkategorikan usiaku ini sebagai remaja). And yes, that's me right now. Walaupun sesungguhnya aku masih memiliki cukup uang untuk sekedar bersenang-senang dan aku tidak terlalu peduli soal uang yang sedikit. Kini, aku mengalami keterbatasan lain. Aku tidak bisa mendapatkan kebebasan. Aku benar-benar dihantui oleh tuntutan segera lulus dari pendidikan. Aku mulai membenci setiap detik aku mempersiapkan segalanya soal kelulusanku. Mulai dari tugas akhir yang semakin hari semakin rumit, ketakutanku akan kegagalan bekerja dengan baik sampai ketakutanku tidak bisa lulus tepat waktu.

The conclusion is, kita hidup berdampingan dengan keterbatasan. Aku mulai meragukan definisi dari kata bebas, karena tidak ada yang benar-benar bebas. Bahkan di negara Amerika yang memiliki Patung Kebebasan (Liberty), kita tidak boleh mencoret patung tersebut dengan cat semprot berwarna hitam. Mari berhenti menuntut kebebasan, kita tidak pernah hidup dengan cara seperti itu.

Saturday, 17 December 2016

Tentang Perjuangan Garuda

Saat saya menulis posting kali ini, saya sedang menyaksikan laga final Piala AFF 2016 Indonesia melawan Thailand di Stadion Rajamanggala, Thailand melalui televisi saat Kurnia Meiga berhasil menggagalkan tendangan penalti Teerasil Dangda pada menit ke-80. Dengan harapan Indonesia akan berhasil memenangkan piala AFF untuk pertama kalinya meski saat ini timnas sedang ketinggalan 2-0 dan kalah agregat 3-2. Entahlah, apa hasil yang didapatkan nanti. Saya tidak sedang ada di lapangan ataupun duduk di stadion berjuang keras mendukung para pemain yang sedang berjuang.

Sumber : Goal.com

Sejenak, saya mengingat bagaimana saya begitu pesimistis dengan kemampuan timnas Indonesia ketika akan bertanding di Filipina pada babak penyisihan grup. Bagaimana tidak, dengan materi pemain seadanya (setiap tim hanya diperbolehkan mengirimkan maksimal 2 pemain), timnas berangkat ke Thailand dengan predikat sebagai negara yang baru saja selesai menjalani sanksi pembekuan dari FIFA akibat carut-marutnya kepengurusan PSSI pada masa itu.  Saat itu, saya berpikir bahwa paling maksimal, timnas kita akan finish sebagai peringkat ketiga babak penyisihan grup dimana timnas berada satu grup dengan Singapura, Filipina dan lawannya saat ini, Thailand. Saya benar-benar tidak membayangkan Indonesia akan melaju sampai babak final. Sampai Jumat, 25 Nopember 2016, dimana Indonesia  menghadapi Singapura, tidak banyak yang percaya timnas akan mampu melaju sejauh ini. Sebagian sisanya pesimis seperti halnya saya. Saat harapan mulai muncul, kita perlahan mulai yakin dengan kemampuan timnas, kami yakin bahwa timnas memiliki harapan.
Tetapi saya sedikit kecewa dengan sikap beberapa orang yang kembali pesimistis saat mengetahui timnas kita ketinggalan 2-0. Beberapa teman melalui media sosial LINE menyarankan untuk segera mematikan TV karena percaya bahwa kita akan kalah. Bukankah beberapa hari yang lalu kita telah mengejek dan meremehkan kemampuan mereka? Saat mereka mencoba untuk membuktikan bahwa kita salah dan mereka berhasil -setidaknya mereka sampai ke babak final- kita tetap tidak mau mengapresiasi. Saya tidak tahu bagaimana rasanya berjuang mati-matian di atas lapangan hijau untuk memuaskan hasrat rakyat Indonesia yang sangat haus kemenangan (atau mungkin kehormatan). Tapi saya tahu betapa sakitnya diremehkan saat saya sedang berjuang. Saya membenci senyum kecut mereka yang seolah menyatakan "kamu tidak akan berhasil", saya membenci tawa mereka saat saya bercerita soal mimpi-mimpi saya. Sangat menyesal hati saya pernah meremehkan pemain timnas kita.

Sumber : FourFourTwo

 Melihat Boaz Solossa, Stefano Lilipaly, Rizki Pora, Andik Vermansyah, Beny Wahyudi, Bayu Pradana sampai Kurnia Meiga berjuang sampai terengah-engah sudah cukup membuat saya yakin bahwa mereka-lah pahlawan Indonesia saat ini. Bahkan sebuah kedua gol Indonesia saat melawan Thailand pada first leg lalu dipersembahkan khusus untuk rakyat Pidie Jaya, Aceh yang sedang terkena musibah. Entahlah, kalian masih berpikir mereka pecundang atau apapun, saya hanya bisa berharap, belajarlah mengerti tentang arti sebuah perjuangan. Bahkan ketika tidak satupun percaya bahwa mereka bisa, mereka tetap berlari demi bangsa ini, demi kita rakyat Indonesia.

Tuesday, 8 October 2013

Negeriku (dulu) Adalah Negara Agraris



 Waktu SD, saya ingat dulu guru saya menerangkan pelajaran IPS  dan menyebutkan bahwa Negara Indonesia adalah termasuk negara agraris. Apa itu negara agraris? Dulu, guru saya mengatakan bahwa negara agraris adalah negara yang memiliki penghasilan besar dari pertanian, gampangnya bisa dibilang bahwa negeri ini negeri pertanian.
 Kalo waktu masih SD dulu, sih, saya percaya aja waktu guru saya bilang gitu. Saya rasa memang bener, kok. Warga kita banyak yang jadi petani, sawah yang kita punya luas, dan tanah kita subur. Meskipun dulu saya belum ngerti berapa produksi padi per tahun kita, saya cukup bisa memahami kalau negeri ini memang negeri pertanian. Dan saya rasa kalian yang pernah hidup di jaman 1999-2005 juga bisa memahami itu. Kita semua sepakat dengan pendapat tersebut.
 Dulu? Iya dulu. Jika melihat kondisi sekarang, rasanya aneh kalau menyebut negeri kita ini negeri agraris. Saya nggak tau guru SD sekarang masih mengajarkan kepada seluruh muridnya bahwa negeri ini negeri agraris atau tidak. Tapi, bagi saya, saya sudah tidak lagi sependapat dengan hal tersebut. Mungkin beberapa dari kalian tidak sepakat. Tapi, mari kita berpikir, apakah negeri ini masih layak disebut negara agraris? Negara yang dulunya dianggap sebagai negeri pertanian, sekarang bahkan tidak mampu memenuhi kebutuhan pangan negerinya sendiri. Impor sana-sini, tidak mencerminkan negeri yang dalam sebuah lagu dianggap sebagai “kolam susu” itu.
 Indonesia berencana mengimpor 500.000 ton beras dari Myanmar. Memangnya beras kita kenapa? Habis dimakan siapa? Hama? Tikus? Tikus yang mana? Tikus yang berdasi itu? Saya heran, apa yang menyebabkan keadaan ini? Lahannya sudah habis atau padinya yang nggak layak dikonsumsi atau semua hasilnya dikorupsi? Kenyataannya, pertanian kita benar-benar dalam kondisi yang buruk. Waktu saya baca buku sejarah, pak Harto dulu sangat getol mengembangkan pertanian Indonesia. Bahkan Indonesia berhasil mengekspor beras saat itu. Itu artinya, saat itu beras di Indonesia benar-benar melimpah. Lalu sekarang, 15 tahun setelah pak Harto melepas jabatan sebagai presiden, pertanian kita seolah tidak lagi berkutik. Tidak bisa diandalkan.
 Jika lahan yang menjadi masalah, seharusnya dibuat peraturan tentang larangan pembangunan di atas lahan-lahan pertanian produktif. Kita harus sadar, negara ini benar-benar surge bagi pertanian jika mengingat di negara lain banyak tanaman yang bisa ditanam sebanyak di Indonesia. Negeri ini kaya, bukan hanya mineral, tapi juga pertanian bahkan perairan. Jika benar-benar dimanfaatkan dengan baik, bukan tidak mungkin kita menjadi negara agraris, maritim dan mineral sekaligus. Bayangkan betapa sejahteranya negeri kita bila itu benar-benar terjadi.
 Tetapi, jika masalahnya adalah korupsi, sampai kapanpun negeri ini tidak akan bisa kembali berjaya. Jika setiap kekayaan yang kita miliki dicuri oleh pemimpin-pemimpin kita sendiri maka kapan kita bisa menjadi negara yang sejahtera? Yang akan sejahtera hanya pemimpinnya. Padahal pemimpin itu memiliki kewajiban untuk mensejahterakan rakyat. Lalu jika pemimpinnya korup, bagaimana rakyat sejahtera?
 Saya hanya bisa berharap, semoga negeri ini segera kembali berjaya  melalui sektor pertanian, laut dan mineral. Dan saya kira anda semua juga mengharapkan hal yang sama. Maka dari itu, sebisa mungkin mari kita berusaha mensukseskan negeri ini dan tetap menjadi orang yang bersih dari korupsi.

Saturday, 5 October 2013

When I Feels So Bad, I Remember Them!

 Persahabatan itu hanya sebuah kata. Tapi, itu kata yang benar-benar bermakna. Betapa setiap kenangan itu sangat membekas di hati kita. Memang, rindu itu hanya datang ketika kita sudah tak lagi bersama, tak lagi satu kota atau daerah. Mereka itu tidak punya emas, tapi sangat berharga. Mereka bukan superhero, tapi mereka sangat hebat. Mereka bukan malaikat, tapi mereka begitu mulia.
 Kata Bruno Mars, "You can count on me like one two three I'll be there, and I know when I need it I can count on you like four three two you'll be there, cause that what friends are supposed to do oh yeah." Ya, mereka sangat bisa diandalkan, sangat bisa dibanggakan dan sangat pantas dirindukan, karena mereka selalu mengerti dan selalu ada ketika kita membutuhkan, mereka mengerti apa yang sedang kita alami, dan mereka bisa memberi solusi saat kita memiliki masalah. Cause that what friends are supposed to do.

 When I feel so bad, I remember them! Karena dengan mengingat mereka, banyak hal lain yang juga teringat. Ingat tentang indahnya masa 'berseragam' kami, masa kami bersama, masa kami tertawa, kecewa, nano-nano lah. Ya, I will always remember them when I feel so bad, always :)





Tuesday, 1 October 2013

Gagal Itu Tidak Dosa

 Setelah berkali-kali menghapus tulisan yang sudah panjang lebar saya tulis, mungkin kali ini saya tidak akan berhenti menulis apapun yang ada di pikiran saya meskipun itu akan membingungkan pada akhirnya nanti.
Bismillahirrahmanirrahiim...
 Pada posting yang pertama sekali ini, saya ingin menulis sedikit tentang kegagalan. Berbicara mengenai kegagalan, saya rasa kita semua pernah gagal, dalam hal sekecil apapun hingga dalam sesuatu yang besar. Menyakitkan ya? Ya, tentu saja.
 Sebagai salah satu orang yang pernah gagal, saya juga merasa demikian. Saya kecewa, marah, sedih bahkan menangis hingga menyalahkan keadaan. Pernah suatu ketika saya tidak berhasil meraih nilai yang cukup untuk mendaftar sebagai calon siswa SMAN 1 Glagah lewat jalur unggulan dan akselerasi, satu kegagalan buat saya. Tetapi melalui jalan yang lain, Tuhan memberikan saya jalan untuk masuk ke kelas unggulan melalui tes tulis pada seluruh siswa reguler karena siswa kelas unggulan masih kurang.
 Ternyata kegagalan saya belum berhenti. Satu tahun kemudian, saya gagal lagi untuk mendapat nilai yang cukup untuk masuk jurusan IPA. Saya kecewa, marah, bahkan menangis. Saya tidak bisa menerima kenyataan bahwa saya gagal. Padahal jika dilihat ke belakang, saya memang tidak layak untuk berhasil.
 Saya berusaha bangkit dan diberi kesempatan untuk mengikuti tes masuk IPA 2 minggu kemudian. Mengorbankan masa liburan yang sudah sangat dinantikan oleh seluruh siswa dan menggantinya dengan belajar sepanjang hari. Itulah yang saya lakukan, dan alhamdulillah, saya berhasil masuk IPA, kok.
 Di saat mengalami kegagalan, biasanya kita hanya menyalahkan keadaan dan menyesalinya seolah-olah dunia akan runtuh. Gagal dan salah itu tidak dosa, itu wajar. Karena dengan salah, kita tau apa yang harus dibenarkan dan dengan gagal, kita tau jalan untuk menuju keberhasilan. Memang, kegagalan itu sangat sulit diterima, tapi menyesalinya adalah menambah kegagalan-kegagalan baru. Alexander Graham Bell pernah berkata, "Sebenarnya ketika satu pintu tertutup, beberapa pintu lain terbuka. Tetapi, kita terlalu lama meratapi pintu yang tertutup sehingga tidak menyadari ada pintu lain yang terbuka."
 Jadi, ayolah kawan, jangan takut gagal. Kalau jatuh, ya bangun lagi, jatuh lagi, bangun lagi. Teruslah bangun sampai dunia lelah menjatuhkanmu sehingga kamu bisa benar-benar berdiri kokoh dalam waktu yang lama :)